13 Nov 2009

Hakikat Ibadah dan Fenomena Penyimpangannya

Bagaimanakah selama ini kita habiskan hari-hari kita? Apakah kita termasuk orang yang seimbang dalam hidup? Seringkah kita kaitkan aktifitas keseharian kita dengan keridhaan Allah Subhanahu Wa Ta'ala ? Biasakah kita berfikir untuk mencari keridhaan Allah Subhanahu Wa Ta'ala ?
Apakah kita pernah menanyakan dan khawatir amal ibadah kita tidak diterima di sisi Allah? Apakah kita merasa bahwa kita sudah menjalankan syari’at-syariat Allah Subhanahu Wa Ta'ala dengan baik? Untuk siapa dan apakah yang kita lakukan selama ini? Apakah kita sudah mencoba untuk selalu melaksanakan dengan ikhlas?
Pernahkan kita meneliti bahwa Amal ibadah yang kita lakukan selalu juga dilakukan oleh Rasulullah Salallahu Alaihi Waslam dan para sahabatnya? Penting kiranya kita selalu menyadari hikmah terbesar dari wujud kita di dunia ini, tak lain adalah untuk beribadah. Jika itu kita sadari adakah kita sudah menghabiskan waktu-waktu kita untuk beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala? Bila ya, apakah selama ini amal ibadah kita sudah sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala ?
Allah Subhanahu Wa Ta'ala  telah menciptakan manusia di alam ini untuk memakmurkan bumi dan beribadah kepadanya, Allah Subhanahu Wa Ta'ala  berfirman dalam al-Qur’an :
وَمَا خَلَقْتُ الجِنَّ وَالإِنسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ `
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku". {QS. Adz-Dzaariyaat : 56}
Ibadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala juga merupakan metode untuk menjaga perjalanan alam ini agar berjalan sebagaimana mestinya, tidak terjadi kepincangan dalam satu sisi kehidupan di alam dunia ini. Sesungguhnya bentuk kerusakan dalam peribadatan akan menjadi sebab munculnya kerusakan pada tata aturan yang ada di alam ini. Pada gilirannya nanti akan menyebabkan kemerosotan dan kebrobokan di seluruh bidang kehidupan, meliputi bidang sosial dan ekonomi. Allah Subhanahu Wa Ta'ala  berfirman :
أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا نَأْتِي الأَرْضَ نَنقُصُهَا مِنْ أَطْرَافِهَا وَاللَّهُ يَحْكُمُ لا مُعَقِّبَ لِحُكْمِهِ وَهُوَ سَرِيعُ الحِسَابِ `
"Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami mendatangi daerah-daerah (orang-orang kafir), lalu Kami kurangi daerah-daerah itu (sedikit-demi sedikit) dari tepi-tepinya? Dan Allah Subhanahu Wa Ta'ala menetapkan hukum (menurut kehendak-Nya), tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya; dan Dia-lah yang Maha cepat hisab-Nya". {QS. Al-Ra’ad : 41}
Menunaikan ibadah sebagaimana yang dikehendaki Allah Subhanahu Wa Ta'ala akan membawa kebahagiaan sempurna. Ibadah adalah tali kendali yang mengekang hawa nafsu manusia agar tak terjerumus dalam syahwat. Ibadah adalah benteng kuat yang melindungi manusia dari kedurhakaan terhadap syari’at Allah Subhanahu Wa Ta'ala . Oleh karenanya cacat dalam menunaikan ibadah berarti adalah cacat pada alam.
Setinggi-tingginya tujuan dalam ibadah adalah ketakwaan, yang menjadi tameng kuat dari derasnya panah kemaksiatan. Takwa adalah penggerak dinamis yang akan menjadi titik tolaknya jiwa untuk melesat meninggalkan bumi menuju kemuliaan langit, kemudian menebarkan perbuatan-perbuatan baik dengan segala macam bentuknya. Bila buah takwa dan khusyu’ kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala sebagai hasil ibadah nampak lemah dan mati, berarti tujuan dari disyari’atkannya ibadah belum terealisasi, sehingga ibadah itu seakan-akan belum ditunaikan.
وَأَقِمِ الصَّلاةَ إنَّ الصَّلاةَ تَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ `
"...dan dirikanlah sholat. Sesungguhnya sholat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar." {QS. Al-An-kabut : 45}
Rasulullah bersabda :
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَاْلعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ ِللهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ `
"Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dan per-buatan dusta maka Allah Subhanahu Wa Ta'ala tidak butuh dari ditinggalkannya makanan dan minuman olehnya (puasa)". (HR. Bukhori, Kitab Al-Shiyam).
Disamping itu, perlu kita sadari pula bahwa akal pikiran manusia tidak mungkin bisa melakukan peribadatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam bentuk yang diridhai dan dicintai-Nya dengan dirinya sendiri, mereka juga tidak mungkin mampu membuat tata aturan dan syari’at yang tepat untuk seluruh ummat manusia dengan perbedaan ruang dan waktu, sebab kemam-puan manusia sebagai makhluq Allah Subhanahu Wa Ta'ala sangatlah terbatas. Alam dengan seluruh rahasianya termasuk jin dan manusia diketahui dengan sedetail-detailnya hanya oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala  semata. Karenanya, di-antara hikmah Allah Subhanahu Wa Ta'ala  yang teramat agung, Allah Subhanahu Wa Ta'ala  mengutus para rasul dan menurunkan kitab untuk memperbaiki keadaan manusia dan menegakkan hujjah atas makhluq-Nya.
رُسُلاً مُّبَشِّرِينَ ومُنذِرِينَ لِئَلاَّ يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُل `
"(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pem-bawa peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu". {QS. Al-Nisa : 156}

Apakah yang dimaksud dengan Ibadah?
Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan makna ibadah itu, tetapi perbedaan pendapat itu sebenarnya tidak saling bertentangan, perbedaan ini dikenal dengan istilah ikhtilaf tanawwu’ (perbedaan redaksi) bukan ikhtilaf tadhad (perbedaan kontradiktif). Dari perbedaan penjelasan mereka itu justru kita bisa menemukan definisi dan pemahaman yang benar dalam memaknai ibadah.
Ibn Qoyyim Rahimahullah berkata, ”Pokok dari ibadah adalah kecin-taan kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala  , bahkan mengesakan-Nya dalam mencinta. Seluruh cinta hanya diberikan kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala    dan tidak menduakan dengan yang lain, yang lain dicintai untuk dan karena Allah Subhanahu Wa Ta'ala  , seperti kecintaan kepada para nabi, rasul dan para walinya, mencintai mereka adalah bentuk menyempurnakan kecintaan kepada-Nya.
 Kecintaan itu bukan bentuk menduakan cinta kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala  , (adapun) kecintaan orang yang mengambil sekutu-sekutu selain Allah Subhanahu Wa Ta'ala  , maka mereka itu mencintai para sekutu itu sebagaimana mencintai Allah Subhanahu Wa Ta'ala  . Bila kecintaan adalah hakikat dan rahasia peribadatan kepada-Nya, maka akan menjadi terwujud dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. (Madarij al-Salikin, Ibn Qoyyim 1/91)
Di tempat lain Ibn Qoyyim berkata, ”Ibadah mengumpulkan dua hal pokok, yaitu klimaks cinta dan klimaks kepatuhan dan ke-tundukan”. (Madarij al-Salikin, Ibn Qoyyim 1/77)
Ibn Taimiyyah Rahimahullah berkata, ”Ibadah adalah nama untuk semua hal yang dicintai dan diridhai Allah Subhanahu Wa Ta'ala    baik berupa perkataan atau perbuatan yang dzahir ataupun yang batin. (Al-Ubudiyyah Ibn Taimiyyah hal :4)
Dari penjelasan tentang definisi ibadah itu kita akan me-ngetahui bahwa seorang hamba Allah Subhanahu Wa Ta'ala    tidak disebut telah mewujudkan ubudiah-nya kepada-Nya, kecuali dengan dua hal pokok, yaitu :
1.       Ikhlas hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala    semata.
Keikhlasan dalam beribadah adalah menunjukan ibadah hanya untuk Allah Subhanahu Wa Ta'ala  semata, dan meninggalkan riya’. Ikhlas dalam amal perbuatan berarti melakukannya dengan itqan (bagus, tepat dan akurat), amanah dan muraqabah (merasa diawasi Allah Subhanahu Wa Ta'ala  ) yang benar. Sebagian ulama menjelaskan makna ikhlas sebagai itqan dalam beribadah dan amal perbuatan, membaguskan keduanya (ibadah dan amal) seakan seorang yang sedang beribadah atau beramal sedang melihat Rabbnya, bila dia tidak melihat Rabbnya maka sesungguhnya Rabbnya melihat dia. Rasulullah Salallahu Alaihi Waslam bersabda:
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ اْمرِئٍ مَا نَوَى `
"Amal perbuatan itu tergantung dengan niatnya, seseorang akan mendapatkan apa yang diniatkannya". (HR. Bukhori dalam Shahih al-Bukhari, kitab Bad’u al-Wahyi)
2.       Mutaba’ah Rasul (mencontoh, mengikuti Rasulullah Salallahu Alaihi Waslam)
Rasulullah Salallahu Alaihi Waslam bersabda :
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ `
"Barangsiapa beramal amal perbuatan ibadah yang tidak ada perintah dari kami maka akan tertolak." (HR. Bukhori dari hadits A’isyah Radhiallahu Anha, Kitab al-Shulhu no: 2697, Muslim al-Aqdhiyyah no: 1343)

Selanjutnya kita bisa mengambil beberapa point  penting sebagai kesimpulan dari pemahaman makna ibadah yang benar, diantaranya adalah berikut ini :
1. Ibadah yang benar artinya adalah kesempurnaan cinta kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala  disertai dengan kesempurnaan ketundukan dan rasa tunduk dihadapan-Nya, ini juga berarti ketaatan kepada perintah-perintah-Nya, mencintai apa yang Dia cintai, membenci yang Dia benci, mengikuti perintah dan larangan Rasulullah Salallahu Alaihi Waslam, dengan tidak melakukan penambahan atau pengurangan. Bila tidak ada semua itu, maka apalah artinya cinta dan tunduk yang tidak bisa membuahkan ketaatan, ittiba’ dan komitmen ?
2. Ibadah yang benar adalah sebuah konsekuensi dari seorang hamba agar segala gerak dan diamnya, disetiap waktu diwarnai dengan celupan ibadah, dan tidak melunturkan celupan itu kapanpun.
3. Barangsiapa menyimpangkan satu peribadatan kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta'ala  maka dia adalah seorang musyrik, wajib bagi kita untuk bara’ (mewujudkan sikap berlepas diri) dari orang tersebut dan berlepas diri dari perbuatan syiriknya. Tanpa sikap bara’ ini, ibadah tidak menjadi sah.

Antara Rupa dan Hakikat.
Maksud dari ibadah bukan hanya gerak fisik yang tidak berpengaruh pada batin. Ibadah dimaksudkan sebagai amal perbuatan hati, kepatuhan, merendahkan diri dan tunduk di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta'ala, itulah ruh dan inti ibadah.
Seseorang yang menjalankan ibadah, apa saja, tetapi tatkala menunaikannya hatinya tidak menghadap Allah Subhanahu Wa Ta'ala, seakan-akan orang itu belum beribadah, atau dengan kata lain dia melakukan bentuk dan rupa ibadah bukan hakikat ibadah itu sendiri.
Berlarinya hati dari kondisi-kondisi ibadah adalah feno-mena penyakit yang paling besar yang menimpa anak Adam dalam perjalanannya menuju Allah Subhanahu Wa Ta'ala, sebab ibadah yang dilakukan oleh hati yang kosong dan lari tidak meninggalkan bekas yang dimaksudkan dalam jiwa, sehingga seorang manusia tidak memperoleh pahala yang semestinya. Oleh karenanya Rasulullah Salallahu Alaihi Waslam bersabda :
إن الرجل لينصرف وما كتب له إلا عشر صلاته، تسعها، ثمنها، سبعها، سدسها، خمسها، ربعها، ثلثها، نصفها `
"Orang yang selesai menunaikan sholat, mungkin tidak diberi pahala melainkan hanya sepersepuluh, sepersembilan, seper-delapan, sepertujuh, seperenam, seperlima, seperempat, sepertiga atau separohnya saja. (Shahih al-jami’ No : 1622)
Hakikat iman yang diperintahkan kepada kita adalah persesuaian antara ibadah hati dengan anggota badan, sehingga terealisasi peribadatan hati dan fisik. Artinya kita mempercantik ibadah hati sebagaimana kita percantik bentuk dan rupa ibadah kita.
Jika ini bisa dimengerti, sekarang apa saja kiat-kiat untuk ibadah batin, atau dengan kata lain bagaimana membangkitkan ruh dalam beribadah? Ini banyak diantaranya bisa kami sebut-kan di sini, sebagai berikut:
1. Kehadiran hati di saat akan memulai dan ketika memulai ibadah. Para Fuqaha berbicara tentang niat sebelum me-laksanakan ibadah, yang mereka maksudkan adalah niat yang membedakan amal itu sendiri dengan amal lain, seperti niat sholat dzuhur dan ashar, niat puasa fardlu atau sunnah…dan seterusnya. Sedangkan ahli tauhid membicarakan niat yang mengkhususkan tujuan amal, yakni maksud dari sebuah ibadah.
2. Membisikkan kepada hati dan mengingatkannya akan ibadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala, sama saja apakah di luar ibadah atau di saat melakukannya bila mungkin dilakukan. Ini bagaikan aliran sungai yang akan melembutkan hati,  menghaluskan dan membuatnya khusyu’, maka jika aliran airnya berkurang lama kelamaan hatinya akan kehabisan kadar air, mengering dan akhirnya mengeras, Na’udzubillah.
3. Bersiap-siap melakukan ibadah. Misalnya kita bersegera menuju masjid untuk menunaikan sholat. Kesiapan jasmani ini tak ragu pasti dibarengi dengan kesiapan maknawi, ruh dan hati. Anjuran Rasulullah Salallahu Alaihi Waslam untuk bersegera ke masjid adalah sebaik-baik dalil akan arti penting ke-siapan ini, dan haditsnya banyak lagi masyhur.
4. Menjauhi perkara yang akan mengganggu tatkala mengerjakan ibadah. Dalam sholat misalnya Rasulullah Salallahu Alaihi Waslam melarang melakukan sholat dengan menghadap pada sesuatu yang akan mengganggunya.
فإنه لا ينبغي أن يكون في البيت شيء يشغل المصلي `
"Sesungguhnya tidak seharusnya di sebuah rumah terdapat sesuatu yang akan mengganggu orang yang sholat". (HR. al-Bukhori).
5. Banyak kita saksikan kebanyakan manusia melakukan ibadah dengan gerakan otomatis bagai gerakan mesin yang sudah diprogram, misalnya dalam sholat banyak yang melakukannya semacam itu, memulai dengan doa istiftah yang biasa terucap dengan lisannya, fatihah kemudian surat pendek yang dia hafal, bila kita tanya apa yang barusan dibaca dalam sholatnya? Mungkin dia sudah tidak ingat lagi.
Mayoritas mereka tidak pernah berfikir misalnya doa lain dari doa istiftah, atau membaca ayat lain padahal sunnah nabi menjelaskan untuk memperagakan doa-doa ini. Rasulullah Salallahu Alaihi Waslam membaca seluruh isi-isi al-Qur’an dalam sholat-sholat sunnatnya.
Inilah beberapa kiat yang dapat kami jelaskan di sini, hendaknya setiap orang melihat masalah ini sebagai masalah yang sangat penting, sehingga seluruh amal ibadah yang dilakukannya bukan ibadah yang mati.

Jenis-jenis Ibadah dalam Islam.
Ibadah dalam Islam mencakup urusan dien dan dunia, Rasulullah Salallahu Alaihi Waslam bersabda:
الإيمان بضع وسبعون شعبة أعلاها قول لا إلا الله، وأدناها إماطة الأذى عن الطريق `
"Iman itu ada tujuhpuluh cabang lebih, yang paling tinggi adalah Lailaha illallah, yang paling rendahnya adalah menying-kirkan gangguan dari jalan." (HR. Bukhori, Kitab al-Iman 16 bab al-haya min al-iman).
Peribadatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala  menuntut adanya niat yang benar, keikhlasan dalam beramal dan istiqamah. Diantara jenis-jenis ibadah itu adalah sebagai berikut:
a. Ibadah yang dilakukan seseorang dengan jasadnya seperti sholat, wudhu, bersuci, dan puasa.
b. Ibadah yang dilaksanakan dengan hartanya seperti zakat dan sadaqah.
c. Ibadah yang dilakukan dengan tubuh dan harta, seperti jihad dan haji.
d. Ibadah yang sebenarnya merupakan amal perbuatan manusia yang biasa seperti bercocok tanam, berdagang, tugas-tugas lain, hanya saja harus dimaksudkan untuk mendapatkan keridhaan Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
e. Ibadah akal dan pemikiran, seperti memperhatikan makh-luq-makhluq Allah untuk menguatkan dan memperdalam iman, dan menambah yakin akan kebesaran Allah Subhanahu Wa Ta'ala .
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لأُوْلِي الأَلْبَابِ ` الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ `
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal. Yaitu orang-orang yang mengingat Allah I  sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata):”Ya Rabb kami, tiadalah engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau maka peliharalah kami dari api neraka”. {QS. Ali Imron :190-191} 
Perkara sunnah atau nawafil juga merupakan ibadah di-samping kewajiban atau fardlu. Nawafil adalah hal-hal yang disunnahkan sebagai tambahan dari perkara yang diwajibkan atau difardlukan agar seseorang bisa lebih mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala, dan memperoleh kecintaan dan keridhaan-Nya, hanya jangan sampai seseorang melakukan nawafil tetapi malah meninggalkan yang fardlu, supaya ibadahnya itu di-terima dan diberi pahala.
Dalam hadits qudsi Rasulullah Salallahu Alaihi Wasalam bersabda :
ما تقرب إليَّ عبدي بشيء أحب إليَّ مما افترضت عليه، وما زال عبدي يتقرب إليَّ بالنوافل حتى أحبه، فإذا أحببته كنت سمعه الذي يسمع به، وبصره  لذي يبصر به، ويده التي يبطش بها، ورجله التي يمشي بها، وإن سألني أعطيته، ولئن استعاذني لأعيذنه `
"(Allah Subhanahu Wa Ta'ala  berfirman):”Tidak ada yang lebih aku cintai dari hamba-Ku untuk mendekatkan diri kepada-Ku dari mengerja-kan apa yang Aku fardlukan kepadanya, hamba-Ku akan terus mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan nawafil hingga Aku mencintainya, bila Aku telah mencintainya, maka Aku adalah pendengaran-Nya yang dia mendengar dengannya, penglihatan-Nya yang dia melihat dengannya, tangannya yang digunakan untuk menangkap, kakinya yang untuk berjalan, dan bila dia meminta-Ku, Aku akan memberinya, bila dia minta perlindungan kepada-Ku, Aku akan melindungi-Nya”. (Riwayat Ahmad 6/256).

Fenomena Penyimpangan Pemahaman dan Praktek Ibadah.
Setelah kita tahu penjelasan definisi yang sebenarnya dari para ulama mengenai ibadah, kita akan bumikan dengan reali-tas kehidupan kaum muslimin dewasa ini, apakah pemahaman itu masih melekat di tubuh kaum muslimin  dengan baik, atau sudah mengalami kelemahan dan banyak penyimpangan.
Bila benar-benar kita memperhatikan keadaan kaum muslimin dewasa ini, di mana orang Islam merasakan adanya keterasingan tertentu dalam realita kehidupan mereka, sungguh kita akan bisa saksikan bahwa sudah banyak sekali terjadi penyimpangan, pada masyarakat umum kaum muslimin tentang makna ibadah, kecuali sedikit dari mereka yang masih mendapatkan karunia rahmat dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Ada yang keliru memahami aqidah dan tauhid, keliru memahami ibadah, penyimpangan dalam mengimani hari akhir, qadha dan qadar, dan masih banyak lagi yang lain.
Permusuhan yang sengit dari musuh-musuh Islam ikut andil menanam saham dalam membumbui berbagai penyimpangan itu, yaitu dengan di-sebarkannya pemahaman-pemahaman kafir dan sesat. Keadaannya menjadi semakin parah karena mayoritas muslimin tidak memiliki pemahaman yang benar terhadap dien mereka sendiri, disamping kelemahan para ulamanya dalam menjelas-kan ajaran-ajaran Islam yang sesungguhnya dan menyadarkan umatnya untuk mengantisipasi seluruh bentuk peperangan pemikiran yang sedang terjadi. Dahsyatnya gempuran perang itu menghunjam demikian kerasnya di hati muslimin yang sedang kosong, maka bagai tidak ada penghalang langsung saja menembus kalbu mereka.
 
Dari sini penting kiranya untuk memberikan konsentrasi kita pada beberapa fenomena penyimpangan dan kelemahan dalam memahami makna ibadah, diantaranya adalah sebagai berikut :
1.       Penyimpangan dalam mempraktekkan dua syarat ibadah.
Fenomena penyimpangan dalam ibadah baik berkaitan dengan pemahaman atau prakteknya banyak terjadi di kalangan ahlul bid’ah dan khurafat, dulu hingga sekarang. Meninggalkan salah satu syarat  diterima ibadah atau bahkan kedua-duanya, yaitu ikhlas dan mutaba’ah. Kami ingin menjelaskan di sini akibat yang ditimbulkan karena meninggalkan satu atau dua syarat tersebut.
Dengan meninggalkan keikhlasan, berarti orang akan menyimpangkan ibadah itu kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta'ala  bisa nabi, malaikat, atau para wali. Ini adalah pemberian ibadah kepada yang tidak berhak mendapatkannya. Argumentasi mereka sangatlah lemah, mereka menyatakan iman kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala sebagai Pencipta, Dzat yang memberi rezki, manfaat dan ma-dharatpun hanya datang dari-Nya, tetapi mereka mengambil wasilah (perantara) dalam menyembah-Nya, misalnya men-jadikan orang-orang sholeh sebagai wasilah untuk mendekatkan diri mereka kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Padahal inilah bentuk syirik besar yang karenanyalah diturunkan Kitab suci dan diutus para rasul. Kita bisa saksikan bahwa mereka ini membuat berbagai corak penyimpangan ibadah itu, ada yang menyembelih kurban untuk selain Allah Subhanahu Wa Ta'ala, bernadzar, ketakutan, atau berupa pengharapan dan masih banyak lagi yang lain. Ini adalah fenomena paling akbar dalam penyimpangan ibadah, sebab syirik jenis ini beretentangan dengan keikhlasan yang menjadi syarat kalimat tauhid dan diterimanya ibadah. Ini banyak dibicarakan dalam buku-buku yang berbicara tentang aqidah dan tauhid.
Adapun meninggalkan syarat yang kedua dari diterimanya ibadah yaitu mutaba’ah akan menghasilkan beragam penyim-pangan dalam praktek ibadah. Kita bisa temukan beragam warna dan rupa peribadatan yang tidak diridhai Allah Subhanahu Wa Ta'ala, dan tak pernah disyari’atan oleh Rasulullah Salallahu Alaihi Wasalam, khususnya di kalangan orang-orang shufi yang memberikan hak mewujudkan syari’at itu kepada para syeikh mereka, perkataan dan perbuatan mereka dianggap sebagai salah satu sumber dalil dalam syari’at, ini menyebabkan warna-warni bentuk dan tata cara ibadah, berupa wirid dan dan doa-doa yang seluruhnya ada-lah bid’ah.
Bid’ah ini menjalar cepat dalam ibadah, baik dalam jumlahnya, bentuknya, tata caranya, waktunya, atau tempatnya. Seluruh bentuk ibadah ini akan tertolak sebab ini adalah pem-buatan syari’at tanpa izin  Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَاًذَنْ بِهِ اللَّهُ وَلَوْلا كَلِمَةُ   الفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَإنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ `
"Apakah mereka mempunyai sesembahan-sesembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah Subhanahu Wa Ta'ala ? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentu-kan (dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang sangat pedih. {QS. Asy-Syura : 21}
من  عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد `
"Barang siapa beramal amal perbuatan ibadah yang tidak ada perintah dari kami maka akan tertolak". (HR. Bukhori dari hadits A’isyah Radhiallahu Anha, Kitab al-Shulhu no : 2697, Muslim al-Aqdhiyyah no: 1343)
 
2.       Penyimpangan dalam memahami makna ibadah.
Yaitu persepsi yang memandang bahwa ibadah itu hanya-lah syi’ar-syi’ar ibadah yang nampak dalam shalat, puasa, haji, kurban, membaca qur’an dan lain-lain. Adapun yang lain se-perti mu’amalat, akhlaq dan hal-hal yang mubah tidak akan masuk dalam makna ibadah.
Yah begitulah, pemahaman yang ada dalam masyarakat kita, sama saja apakah itu mereka ucapkan dengan lisan mereka atau kita bisa lihat langsung dalam amal perbuatan dan tingkah aku mereka. Contoh hidup yang bisa kita saksikan adalah mereka yang melakukan sholat, puasa  dan membaca qur’an, tetapi setelah semua itu, dia tidak malu-malu untuk menipu, korupsi, makan uang riba, berbuat zalim, atau mengoleksi alat musik dan fasilitas kerusakan di rumahnya.
Seorang wanita muslimah yang sholat dan puasa, tetapi tidak berjilbab, berhias melebihi batas-batas yang dibolehkan, bercampur baur dengan kaum lelaki. Bila kita nasehati, meraka menjawab, ”Mereka itu orang yang rajin sholat dan ibadah kok, sekarang kan bukan waktu sholat?”. Di sinilah terjadinya penyimpangan tujuan dan niat. Ini seperti orang yang memisahkan antara pendidikan diri dan keluarganya dari tujuan ibadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Banyak yang menyekolahkan anaknya hanya untuk men-dapatkan ijazah, gelar, harta, kekayaan, pekerjaan, jabatan, pangkat dan menggunakan segala cara untuk mencapai tu-juannya itu.
Ibadah yang didasarkan dengan pemahaman yang keliru seperti ini menjadikan seorang muslim memisahkan kehidupan-nya di masjid dan di luar masjid. Jika ibadah yang dikehendaki oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala  seperti yang dipahami orang ini, maka makna ibadah itu hanya akan menjadi sia-sia sebab berarti sebagian besar dari waktunya  akan berada di luar peribadatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Tentu ini tidak diridhai Allah Subhanahu Wa Ta'ala  sebab waktu-waktu shalat hanya beberapa kali dalam sehari semalam. Kemudian apa yang akan terjadi di luar waktu itu, apakah akan ia gunakan di luar peribadatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala ? Sungguh! Allah Subhanahu Wa Ta'ala  tidak menghendaki seperti ini.
Jika demikian wajib bagi seorang muslim untuk menge-tahui bahwa dirinya diciptakan untuk ibadah, untuk itu seluruh waktunya mestinya digunakan untuk melakukan aktifitas ibadah, yang mencakup syi’ar-syi’ar ibadah dan muamalat, atau perkara-perkara yang mubah. Itu semua mestinya di-lakukan oleh seorang hamba, dengan perasaan ibadah yang senantiasa menyertainya.
Setiap amalnya dia awasi dengan lensa itu dan dia niatkan untuk bertaqarrub kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala  dan meminta bantuan Allah Subhanahu Wa Ta'ala  dalam melaksanakan ketaatan kepada-Nya. Perasaan dan niat ini, menjadikan seluruh amal seorang hamba sampaipun dalam perkara yang mubah dan kesenangannya benar-benar sebagai Hamba Allah Subhanahu Wa Ta'ala.  yang berserah diri kepada wajah-Nya.
قُلْ إنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِينَ ` لا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ المُسْلِمِينَ. `
"Katakanlah :”Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah Subhanahu Wa Ta'ala, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala )”. {QS al-An-'am : 162-163}

3.       Penyimpangan dalam melaksanakan ibadah.
Penyimpangan dalam memaknai ibadah pada akhirnya menyebabkan penyimpangan dalam mempraktekannya. Sampaipun beberapa syi’ar ibadah yang sudah disempitkan makna-nya dari amal peribadatan mereka juga mengalami kelemahan dan kebengkokan dari hakekat dan tujuannya. Kongklusi ini sangat bisa diprediksi.
Sebab adanya penyimpangan pema-haman dengan sendirinya menyebabkan penyimpangan prak-tek. Ketika seseorang memahami bahwa ibadah yang diminta hanyalah sebatas melakukan syi’ar saja, kemudian seluruh makna ibadah itu dibatasi di sini saja, maka peribadatan yang berwarna demikian akan terus menerus mengalami kemun-duran sehingga nantinya juga hanya melaksanakan syi’ar dengan serampangan menurut hawa nafsunya, mungkin hanya berupa gerakan yang hampa tanpa ruh, atau menjadi gerakan tradisi yang mayoritas motor penggerak ibadahnya adalah tradisi bukan niat untuk beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Itulah ilustrasi ibadah dari generasi yang akan mengalami kehancuran.

4.       Penyimpangan pada sumber talaqqi (cara menerima pemahaman agama).
Penyimpangan yang telah disebutkan di atas bisa menyeret pada penyimpagan berikutnya yang lebih buruk dan lebih berbahaya. Sebab penyimpangan tadi berada pada level per-sonal sementara yang kami sebutkan di sini adalah penyim-pangan pada aturan yang menjamah sebagian besar negara muslim dewasa ini, mengarah pada pemisahan dien dengan tata kehidupan dunia, dan aturan-aturan hidup.
Setelah itu kehidupan beragama hanya dibatasi di masjid dengan syiar-syi’ar ibadahnya. Kemudian lisan dan situasi mereka mengulang kata-kata yang diucapkan kaum Madyan kepada Nabi Syu’aib Alaihi Salam dan kini selalu diucapkan oleh para sekuleris, ”Apa sih urusannya agama dengan pakaian dan lapangan kerja wanita? Memangnya agama mengurusi politik, atau loyalitas dan interaksi atau cinta terhadap orang kafir? Apa agama mengatur ekonomi, media elektronik, pers, dan pen-didikan?….Agama hanya menyuruhmu untuk beribadah di masjid, membaca al-Qur’an, dan berdzikir…inilah persepsi mereka. Kehidupan akan selalu mempunyai aturan yang sesuai dengan perkembangan dan perubahan zaman. Itulah sebagian igauan-igauan mereka yang nampak kesesatan dan kejahatannya.
Paham bengkok ini tidak jauh dari perkataan penduduk Madyan kepada Nabi Syu’aib ketika mereka diseru untuk bertauhid, dan tidak melakukan penipuan dalam timbangan.
قَالُوا يَا شُعَيْبُ أَصَلاتُكَ تَاًمُرُكَ أَن نَّتْرُكَ مَا يَعْبُدُ آبَاؤُنَا أَوْ أَن نَّفْعَلَ فِي أَمْوَالِنَا مَا نَشَاءُ إنَّكَ لأَنتَ الحَلِيمُ الرَّشِيدُ `
"Mereka berkata: ”Hai Syu’aib, apakah agamamu yang me-nyuruhmu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya kamu ada-lah orang yang sangat penyantun lagi berakal”. {QS. Huud [11]: 87}
Mereka mengatakan wahai Syu’aib apa urusan peribada-tanmu dan sholatmu dengan kehidupan ekonomi kami, apa urusannya dengan sikap kami meniru bapak-bapak kami dan mentaati mereka pada apa yang mereka sembah. Subhanallah! Betapa serupanya hati mereka dengan hati orang-orang jahil dewasa ini, alangkah miripnya perkataan mereka ini dengan kata-kata orang-orang munafiq sekularis.
Intinya dari apa yang telah disampaikan di muka, bahwasanya bila ibadah hanya dibatasi pada syi’ar-syiar ibadah saja, maka apa makna ayat yang menjelaskan sebagai berikut.
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَاباً مِّن دُونِ اللَّه `
"Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai rabb selain Allah I". {QS. At-Taubah : 31}
وَإنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ `
"Dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik". {QS. al-An’am : 121)
Allamah asy-Syinqithi menjelaskan ayat-ayat ini :
”Ini adalah fatwa langit dari al-Khaliq Azza wa Jalla, Dia jelaskan bahwa orang yang menuruti syetan dan menyelisihi syari’at al-Rahman adalah seorang yang mempersekutukan Allah Subhanahu Wa Ta'ala .” (Adhwa al-Bayan 7/170)
Jadi diantara kekhususan ibadah adalah, taat, ittiba’, tun-duk, dan patuh. Ibadah berarti doa dan ibadah juga berarti taat dan ittiba’, tetapi orang-orang yang jahil atau pura-pura bodoh ingin menyempitkannya hanya pada syi’ar-siy’ar ibadah dan ibadah-ibadah khusus saja, kemudian setelah itu ibadah tak lagi punya urusan dengan kehidupan dan lembaran-lem-baran kehidupan.
Orang-orang yang berpendapat adanya pemisahan antara agama dengan kehidupan ini ada dua macam :
Bisa jadi adalah orang yang memang tidak memahami hakikat dien dan hakikat ibadah dalam Islam, sebab mereka tidak dibekali dengan ilmu syar’i yang menerangi pemikiran mereka, wawasan mereka sebagian besar dipengaruhi oleh wawasan barat atau ketimuran yang merasuk dalam alam pikiran dan hati mereka saat kosong, dan kemudian menan-cap kuat. Mereka dan orang-orang serupa mengalami penyim-pangan dalam memahami makna ibadah yang sesungguhnya, karena ketidaktahuan. Terkadang kita melihat mereka ini melakukan sholat puasa dan membaca al-Qur’an. Golongan ini hendaknya bisa disembuhkan dengan ilmu syar’i dan sikap lembut sehingga mereka dapat memahami makna ibadah yang sebenarnya.
Yang lebih membahayakan adalah mereka yang memahami hakikat makna ibadah dan dienul Islam, tetapi menyimpan rasa takabur untuk menerima pemahaman itu, kemudian mulailah dengah niat yang buruk menebarkan keraguan, dan berusaha memalingkan muslimin dari dien mereka. Mereka melakukan pencemaran dalam hati kaum muslimin, mereka ini kalaupun sholat atau melaksanakan sebagian syi’ar ibadah adalah kemunafikan dan zandaqah.  Allah Subhanahu Wa Ta'ala  berfirman :
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَمَاًوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ المَصِيرُ `
"Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka jahannam dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali". {QS. At-Tahrim : 9}

5.       Penyimpangan dalam pemahaman dan praktek sekaligus.
Diantara fenomena yang dapat disaksikan dari bentuk penyimpangan ibadah dan sekaligus prakteknya adalah orang-orang shufi dan zandaqah, dari kegiatan mereka melaksanakan ibadah dan ketaatan yang dikaitkan dengan al-yaqin al-mutlak, hingga bila seorang hamba sudah mencapai level ini, tidak akan lagi terkena taklif (pembebanan menjalankan syari’at) dan tidak lagi membutuhkan peribadatan, yang layaknya hanya dilakukan oleh orang awam saja.
Adapun kalangan khusus yang mereka istilahkan sebagi abdal dan aqthab, telah sampai pada derajat yakin yang menggugurkan taklif dan ibadah (kita berlindung pada Allah Subhanahu Wa Ta'ala dari hal demikian), kita berlepas diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala dari perbuatan orang zan-daqah dan atheis. Ibn Qoyyim telah menjelaskan kesalahan orang-orang shufi dan zandaqah ini dalam kitab Madarij al-Salikin juz 1 hal : 103-104. Begitulah penyimpangan mereka orang-orang shufi dalam memaknai ibadah. Ada kata-kata yang masyhur dikalangan mereka, ”Tidak menyembah Allah Subhanahu Wa Ta'ala karena takut naar, atau mengharap jannah, tetapi menyembah karena mencintai dan merindukan-Nya”.
Jelas dari kata-kata ini bahwa mereka bersikap takalluf dan menyimpang dari jalannya para Nabi. Para Nabi Allah Subhanahu Wa Ta'ala  meminta jannah dan berlindung dari api naar. Syeikhul Islam Ibn Taimiyyah berkata dalam membantah mereka, ”Dahulu sebaik-baik makhluq (Rasulullah Salallahu Alaihi Wasalam) meminta jannah dan berlindung dari naar, tatkala sebagian sahabat bertanya kepadanya apa yang ia baca dalam sholatnya? “Aku meminta jannah dan berlindung kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala   dari naar”. (Riwayat Ibn Majah dalam al-Iqamah 910, al-Du’a 3847, Abu Dawud dalam al-sholat 792, shahih Ibn Majah 748).
Ada sebagian salaf mengatakan, ”Barangsiapa menyembah Allah  Subhanahu Wa Ta'ala dengan cinta saja maka dia adalah orang zindiq, barang-siapa yang menyembah-Nya dengan pengharapan saja maka dia adalah murji’i, barang siapa yang menyembah-Nya dengan takut saja maka dia adalah haruri (khowarij), dan barangsiapa menyembah-Nya dengan cinta, harap dan takut maka dia adalah seorang mukmin yang bertauhid”.
Jadi Ibadah yang benar adalah mencakup cinta, takut, harap, rendah diri, tunduk, sebagaimana telah disebutkan di muka tentang definisi ibadah dan hakikatnya.
Semoga kita termasuk orang-orang yang ikhlas kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala  dan mengikuti Rasulullah Salallahu Alaihi Wasalam dalam beribadah.
 
Wallahu Ta’ala A’lam. (www.hasmi.org)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar