13 Nov 2009

Iman Kepada Muhammad SAW

1. Kita wajib mengimani bahwa Muhammad bin Abdullah adalah nabi Allah, utusan-Nya, hamba-Nya dan pilihann-Nya. Dia tidak pernah menyembah berhala, tidak pernah sedikitpun menyekutukan Allah, dan sama sekali tidak pernah melakukan dosa kecil apalagi dosa besar.
2. Kita wajib mengimani belaiu adalah Nabi yang terakhir seperti ditegaskan dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Firman Allah:
“Akan tetapi (dia adalah) utusan Allah dan penutup para nabi.”
(QS AL Ahzab: 40).

Rasulullah SAW bersabda:
“Perumpamaan antara aku dengan para nabi lain adalah bagaikan seseorang yang membangun sebuah bangunan. Dia membuat bangunan itu baik dan indah. Hanya saja tersisa satu tempat (yang belum dipasang) batu-bata di salah satu pojoknya. Lalu oarang-orang berkeliling (untuk melihat-lihat) bangunan itu dan mereka terkagum-kagum dengannya. Mereka mengatakan, “Mengapa (tempat) batu-bata yang satu ini tak diisi?” Rasulullah mengatakan, “Akulah batu-bata itu dan aku penutup para nabi.” (Mutafaq ‘Alaih)

Aku adalah Muhammad, aku adalah Ahmad dan aku adalah penghapus yang denganku kekufuran dihapuskan, dan aku adalah penghimnpun yang manusia akan terhimpun di belakangku, dan aku adalah yang terakhir, yang sesudahku tidak ada lagi nabi.” (Mutafaq ‘Alaih)

Kita meyakini sepenuhnya bahwa tidak ada kenabian setelah Nabi Muhammad SAW dan bahwa setiap yang memgklaim dirinya nabi setelah beliau adalah pendusta.

Rasulullah SAW bersabda:
“Aku ada di kalangan umatku tiga puluh orang pendusta. Masing-masing mengaku sebagai nabi, padahal akulah nabi terakhir, dan tidak ada nabi setelahku.’ (HR. Muslim)

3. Kita juga wajib mengimani bahwa Rasulullah adalah imamul muttaqin (peminpin yang benar-benar bertaqwa) yang menjadi tauladan dalam segala perilakunya, dan hanya dialah yang berhak diikuti dan diteladani, tidak ada yang lainnya.
Firman Allah SWT:
“Katakanlah, ‘Jika kalian mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu.” (QS Ali Imran: 31)

“Maka demi Rabbmu (pada hakikatnya) mereka tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim untuk (memutuskan) perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An Nisaa’: 65)

4. Kita mengimani bahwa Rasulullah SAW adalah habibur rahman (kekasih Allah), dan bahwa beliau berada pada peringkat tertinggi kecintaan Allah, beliau adalah khullah (yang dicintai, kekasih) Rasullah SAW bersabda: “Seandainya aku mengangkat kekasih, maka akan aku jadikan Abu Bakar sebagai kekasih. Akan tetapi, ia adalah saudara dan sahabatku. Dan Allah telah menjadikan kawanmu ini (Nabi Muhammad) sebagai kekasihNya.” (HR> Muslim)
5. Kita wajib mengimani bahwa Nabi Muhammad diutus untuk seluruh bangsa jin dan manusia dengan membawa petunjuk kebenaran. Firman Allah saat menceritakan perkataan jin: “Wahai kaum kami, ikutilah seruan orang yag menyeru kepada Allah dan berimanlah kepadanya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu danmelepaskan kamu dari azab yang pedih. (QS. AL Ahqaf: 31)

“Dan tidalah kami utus Engkau melainkan untuk seluruh manusia, sebagai pembawa kabar gembira dan pengancam.” (QS. Saba’: 28)
“Katakanlah wahai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kamu semua.” (QS. AL A’raaf:158)
“Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqon (alQur’an) kepada hamba-Nya, agar dia memberi peringatan kepada seluruh manusia.” (AL Furqon:1)
Rsulullah SAW bersabda:
“Aku diberi kelebihan atas para nabi yang lain dengan enam hal: aku diberi kalimat-kalimat yang singkat namun padat, aku ditolong dengan rasa takut, dihalalkan bagiku ghanimah; bumi dijadikan suci dan sebagai tempat sujud bagiku; aku diutus untuk seluruh manusia, dan para nabi diakhiri olehku.” (Mutafaq ‘alaih)

Pensyarah al aqidah ath Thahawiyah menjelaskan bahwa perkara diutusnya Rasulullah SAW kepada manusia merupakan hal diketahui dari ajaran Islam secara pasti.

6. Kita wajib mendahulukan kecintaan kepada Rasulullah atas kecintaan kepada orang tua, anak, dan diri sendiri. Dari Aanas bin Malik, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Tidaklah seseorang beriman hingga ia menjadikan diriku sebagai yang paling ia cintai dari pada orang tuanya, anaknya dan seluruh manusia.” (Mutafaq ‘alaih)
“Kami bersama Nabi SAW beliau memegang tangan Umar bin khathab. Ia berkata kepada Rasulullah SAW, ‘Ya Rasulullah, engkau benar-benar aku cintai melebihi segala sesuatu selain diriku.” Maka Rasulullah mengatakan, “Tidak demi Dzat yang diriku ada di tanganNya, hingga aku lebih kamu cintai dari dirimu sendiri. Umar berkata: Kalau begitu engkau sekarang lebih aku cintai dari pada diriku sendiri. Rasulullah berkata: Sekarang (benar) wahai Umar.” (HR. Bukhary)

7. Kita wajib mengimani bahwa Allah SWT memperkuatnya dengan mukjizat yang membuktikan, secara meyakinkan, kebenaran apa yang dibawanya itu. D an, kita meyakini bahwa Al Qur’an adalah mukjizat beliau yang paling besar, yang dengannya beliau menantang sekalian alam dan mereka tidak mampu untuk membuat yang sama dengannya, atau mirip dengannya. Allah SWT berifrman:
“Dan jika kamu merasa ragu tentang apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami, maka buatlah satu surat saja yang semisal Al Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika benar-benar orang yang benar. Maka jika kami tidak dapat membuatnya, peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan bebatuan, yang disediakan untuk orang-orang kafir. (AL Baqarah:: 23-24)

8. Kita mengimani bahwa Allah SWT juga memperkuat beliau dengan mukjizat yang bersifat fisik, seperti disebutkan dalam hadits-hadits shahih. Misalnya terbelahnya bulan; batu mengucapkan salam kepada beliau; batang pohon merintih, keluarnya air dari sela-sela jemari, orang banyak merasa kenyang denagan makanan yang sedikit; kesaksian kambing yang telah dibakar di hadapan beliau, awan menaungi beliau sebelum diutus menjadi rasul; apa yang terjadi pada Abu Jahal dan batunya saat ia ingin menimpakannya pada kepala beliau; sentuhan tangan beliau yang membuat kambing-kambing Ummu Ma’bad menjadi subur susunya; lemparan tanah pada wajah orang-orang musyrik; informasi tentang hal ghaib, dan kemudian terbukti dengan kebenarannya; Allah mengabulkan doanya; terpeliharanya dari pembunuhan; dan lain-lain.

Tentang mukjizat fisik itu banyak hadits yang menyebutkannya. Sebagian hadits mutawatir dan kebanyakan hadits masyhur. Namun secara keseluruhan hadits-hatis itu menunjukkan secara meyakinkan terjadinya mukjizat-mukjizat itu dan menunjukkan kebenaran Rasulullah SAW.

9. Kita mengimani bahwa Allah SWT memperkuatnya dengan argumen-argumen yang tegas, dalil-dalil yang nyata yang direpresentasikan dengan kepribadaian, sifat dan akhlaknya. Kita mengimani bahwa Allah telah memberikan postur dan fisik bagi orang-orang yang mengerti hal itu menujukkan kenabian dan kejujurannya. Alangkah indahnya ungkapan Hasan Bin Tsabit-semogaAllah meridhai- yang menyatakan:

Andai pun tidak ada pada dirinya ayat-ayat yang menjelaskan
Maka keadaan dirinya adalah informasi atas kenabiannya

10. Kita mengimani bahwa Allah SWT mengaruniakan kepadanya akhlak Al Qur’an, yang menunjukkan kebenaran dan dukungan Aallah kepadanya. Tak seorang pun yang pernah mendengarnya berdusta, baik dalam urusan agama maupun dunia; tidak sebelum dan tidak sesudah diutus menjadi Rasul. Andai hal itu pernah terjadi sekali saja, niscaya para musuhnya akan berjuang untuk menyebarluaskannya dan mem blow-up nya. Beliau tidak pernah melakukan perbuatan yang buruk atau tercela, baik sebelum atau sesudah diutus. Beliau tidak pernah lari dari seoang pun musuhnya betapa rasa takut mencekam dan suasana genting. Seperti yang terjadi pada perang Uhud dan perang Ahzab. Beliau memiliki rasa kasih sayang yang besar terhadap umatnya, sampai-sampai Allah SWT menasihatnya agar nmeringankan hal itu. FirmanNYa:

“Maka janganlah kamu binasa karena kesedihan terhadap mereka.’” (QS. Fathir: 8)
“Sangat menginginkan (keselamatan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin (QS. AT Taubah: 128)

Beliau berada dalam puncak kedermawanan dan murah hati, zuhud terhadap dunia, merasa cukup dengan yang sedikit,tidak pernah menyimpan kekayaan, amat fasih berbicara, mampu berkata secara ringkas padat lembut dan pemaaf, tidak marah karena selain Allah ta’ala, bersikap tawadhu’ kepada orang mukmin, mengabdi kepada Allah dan berjihad dijalanNya dengan penuh tawakal kepadanya. Sifat –sifat ini terus ada pada diri Rasulullah dari mulai beliau hidup hingga meninggal dunia, tanpa berganti dan tidak pula berubah. Itulah yang disyaratkan Allah dalam firmanNya”

“Dan aku tidak termasuk orang yang mengada-adakan (memaksakan diri).” (QS. Shaad: 86)

Orang yang nemaksakan diri tidak akan mampu konsisten dalam sifat tersebut sepanjang hayat. Dan sungguh, seluruh sifat dan akhlak luhur itu berada pda puncak kemuliaan yang tidak akan dapat tertandingi oleh manusia manapun kecuali orang-orang yang dipelihara Allah. Nah, berhimpun akhlak dan sifat-sifat itu pada diri Rasulullah saw adalah merupakan salah satu bukti paling kuat atas kenabiannya.

Karenanya, orang-orang yang tidak berakal telah dapat memastikan kebenaran Rasulullah karena telah mengetahui akhlak, kejujuran dan perjalanan hidupnya yang baik itu. Khadjiah –semoga Allah meridhai- karena mengetahui bahwa beliau adalah jujur dan amanah, maka saat beliau memberitahunya tentang wahyu yang diterimanya segera saja mengatakan, “Aku mencemaskan diriku,” Maka Khadijah menjawab, “Tidak demi Allah, Dia tidak akan menghinakanmu, selamanya. Karena engkau bisa menyambung rahim (silaturahim), memikul beban, membantu orang yang tidak berpunya, menghormati tamu dan membantu orang yang kehilangan haknya.

Demikian pula Heraclius, raja Romawi. Ketika Nabi mengirim surat yang isinya mengajak masuk Islam, ia meminta agar dihadirkan orang yang berasal dari Arab, yang ada di negaranya. Kebetulan Ab Sufyan sedang berada di Syam dalam sebuah misi perdagangan. Maka Heraclius minta agar dia dipanggil dan menghadap kepadanya. Di sekelilingnya adalah para pejabat kerajaan Romawi. Melalui seorang penterjemah, raja mulai bertanya tentang hal ihwal Nabi SAW. saat mendengar segala pejelasan yang disampaikan Abu Sufyan –yang masih kafir itu- sampailah Heraclius pada kesimpulan tegas bahwa hal ihwal, sifat, dan perjalanan hidup Nabi SAW yang dia dengar merupakan bukti kebenaran apa yang diajarkannya, dan bahwa dia benar-benar nabi yang diutus.
Akan bermanfaat dalam konteks itu kita menukilkan dialog antar Abu Sufyan dan Heraclius, sebagaimana yang dicatat oleh imam dan amir para ahli hadits, yakni Bukhary dalam kitab shahihnya, sebab, di dalamnya ada pelajaran dan bukti bahwa rasul kita yang mulia itu telah Allah karuniai dengan argumen-argmen yang tegas, dan bukti-bukti yang pasti tentang kebenarannya.

Imam Bukhary meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Abu Sufyan bin Harb mengatakan kepadanya, Heraclius mengutus orang (untuk memintanya menghadap) sedang ia (Abu Sufyan) berada dalam rombongan Quraisy yang sedang berdagang di Syam. Ini pada saat terjadi gencatan senajata antara Quraisy dan Rasulullah SAW.utusan itu menemui rombongan Quraisy di Iliya. Mereka mengundangnya untuk datang di majlis raja, di hadapan paara pejabat kerajaan. Lalu dihadirkan seoang penetrjemah kerajaan.

Herclius : “Siapakah di antara kalian yang nasabnya lebih dekat kepada orang yang mengaku dirinya sebagai nabi?”
Abu Sufyan : “Saya orang yang paling dekat dari segi nasabnya.”
Heraclius : “Suruhlah dia mendekat kepada ku dan dekatkan pula kawan-kawannya dengannya, suruh mereka di belakangnya.”

Heraclius berkata kepada penterjemah, “Katakan kepada mereka (kawan-kawan Abu Sufyan), bahwa aku menanyainya (Abu Sufyan) jika ia berdusta, katakan dusta. “ Abu Sufyan –sat menceritaakan peristiwa ini kepada Ibn Abbas, “Demi allah, seandainya bukan karena malu atau karena mereka meneriaki aku berdusta, pasti saya akan berdusta. Tentang dia (Rasulullah SAW)”

Heraclius : “Bagaimana nasabnya di kalangan kalian?”

Abu Sufyan : “Dia memiliki nasab (yang terhormat) di kalangan kami.”
Heraclius : “Adakah sebelumnya barang satu orang yang mengakaan hal serupa (mengaku sebagai nabi)?”
Abu Sufyan : “Tidak ada.”
Heraclius : “Adakah di antara nenek moyangnya yang menjadi raja?”
Abu Sufyan : “Tidak.”
Heraclius : “Apakah yang mengikutinya orang-orang terpandang atau orang-orang lemah?”
Abu Sufyan : “Orang-orang lemah.”
Heraclius : “Para pengikutnya berkurang atau bertambah?”
Abu Sufyanb : “Bahkam bertambah”
Heraclius : “Adakah orang yang murtad karena benci kepada agama itu setelah masuk?”
Abu Sufyan : “Tidak ada”
Heracalius : “Pernahkah kalian menuduhnya berdusta sebelum ia mengaku Nabi?”
Abu Sufyan : “Tidak pernah”
Heraclius : “Pernahkah ia berkhianat?”
Abu Sufyan : “Tidak pernah. Dan, kami sekarang tidak tahu apa yang sedang ia lakukan. “(Kata abu Sufyan, saat menceritakan hal itu, “Saya tidak dapat mengucapkan kalimat yang dapat menyusupkan keraguan di hati Heraclius selain kalimat itu.”)
Heraclius : “Kalian memeranginya?”
Abu Sufyan : “Ya”
Heraclius : “Bagaimana pertempuran kamu dengannya?”
Abu Sufyan : “Pertempuran kami dengannya silih berganti. Kadang ia menang, dan kadang kami yang menang.”
Heraclius : “Apa yang ia perintahkan untuk kalian?”
Abu Sufyan : “Ia mengatakan, beribadahlah hanya kepda Allah, janganlah kalian menyekutukanNya dengan sesuatu apapapuin, tinggalkanlah apa yang dikatakan nenek moyang kalian. Ia juga memerintahkan kami sholat, kejujuran, menjaga kesucian diri dan meyambung persaudaraan.”

Heraclius berkata kepada penerjemah, katakanlah kepadanya, “: Saya bertanya kepada Anda tentang nasabnya dan Anda katakan bahwa ia mempunyai nasab yang jelas. Demikianlah para rasul diutus, pasti punya hubungan nasab dengan kaumnya. Saya bertanya kepada Anda, apakah di antara kalian ada orang yang mengaku sebagai nabi. Dan Anda menjawab tidak ada. Saya katakan, jika ada seorang yang sebelumnya mengaku jadi nabi maka bisa dipastikan bahwa ia hanya mengkalim apa yang dikatakan oleh orang sebelumnya. Saya bertanya kepada Anda, adakah di antara nenek moyangnyua yang menjadi raja, dan anda katakan tidak ada. Jika ada, saya akan katakan bahwa ia hanya ingin mengembalikann kerajaan orang tuanya. Saya bertanya kepada Anda, apakah ia pernah berdusta keapda Anda sebelumnya dirinya mendakwakan diri sebagai nabi, dan anda menjawab tidak pernah. Maka saya tahu, jika ia tidak pernah berdusta kepada manusia, tidak mungkin ia berdusta kepada Allah. Saya bertanya kepada Anda, yang menjadi pengikutnya orang-orang yang terpandang atau orang-orang lemah. Dan anda menjawab yang menjadi pengikutnya adalah orang-orang yang lemah. Dan orang seperti itulah pengikut para rasul. Saya bertanya kepada Anda, apakah mereka berkurang atau bertambah. Anda menjawab mereka bertambah. D an begitulah halnya keimanan, pengikutnya terus bertambah hingga sempurna. Saya bertanya kepada Anda, adakah yang murtad karena benci agamanya, setelah ia masuk ke dalamnya, anda menjawab tidak ada. Begitulah iman ketika telah merasuk ke dalam hati. Saya bertanya apakah ia pernah berkhianat. Anda menjawab tidak pernah. Begitukah pada rasul tidak pernah berkhianat. Saya bertanya, tentang apa yang ia perintahkan. Anda menjawab bahwa ia memerintahkan sholat, kejujuran, dan menjaga kesucian diri. Dan jika apa yang anda katakan itu benar, amak kelak ia akan menguasai tempak kedua akkiku berpijak ini. Sebetulnya saya sudah tahu bahwa ia akan muncul. Tapi saya tidak menduga bahwa ia akan muncul dari bangsa kalian. Anda saya tahu bahwa saya bisa mendatanginya, niscaya saya akan berusaha menjumpainya. Dan jika saya disisinya, niscaya saya akan mencuci telapak kakinya.” (HR. Bukhary)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar